Tuesday, 31 March 2015

If you plant, you harvest



Siapa menanam, mengetam. Ada sedikit cerita dari saya tentang kata-kata ini dan saya tulis dalam Bab Guru-Guru Kiriman Tuhan dalam buku Biarkan Lautan Bernyanyi (Let the ocean sing).

Keluargaku dapat dikatakan sebagai keluarga yang sederhana. Ayahku, Martabi Yaseen telah meninggal dunia. Beliau seorang penjual buku dan sekaligus pecinta buku. Ibuku Sri Mas adalah seorang guru taman kanak-kanak. Disebabkan karena nama depan ibuku Sri, bisa jadi kemudian ayahku memberi nama aku dan kakak perempuanku dengan nama depan Sri. Kakakku adalah Sri Sarah Martabi sedangkan namaku adalah Sri Annemarie Martabi.
Keberadaan ibuku yang seorang guru taman kanak-kanak sering aku sebut sebagai keberuntunganku yang pertama dalam soal pendidikan. Pada saat saya masih kecil dimana program pemerintah untuk penambahan gizi anak dinilai sangat penting disebabkan karena stok berlebih maka ibuku membawa pulang untuk kami. Program peningkatan kualitas guru yang diikuti oleh ibuku turut menjadikan kami untuk dapat berlatih mandiri. Pernah bahkan dulu saya tidur dengan besi dari potongan jendela nako ada di dekat tempat tidur ketika ibu mengikuti pelatihan selama satu minggu.
Keberuntungan kedua adalah saat tahun kedua kuliah di Yogyakarta dan ada program asrama. Maka hanya satu tahun awal saya tinggal di kost. Mulai tahun kedua berada satu asrama dengan para kakak angkatan dari jurusan sama maupun berbeda semakin memperkaya keilmuan saya. Ditambah lagi kami di asrama juga mengikuti perkuliahan yang disampaikan oleh para dosen yang kebanyakan berpendidikan doktoral maka semakin tumpah ruahlah ilmu yang kami terima.
Masa belajar yang tidak kalah saya nikmati adalah masa pendidikan dasar dan menengah. Saya suka menari meski itu kadang bertabrakan dengan aturan gerak hip-hop untuk dangdut, gerakan dangdut untuk musik pop ataupun pop namun gemulai meski musik yang ada memiliki tempo yang cepat. Masalah kostum harus memiliki keberanian tersendiri setidaknya hanya itu pilihan kami karena jika mengacu pada kostum sekolah-sekolah peraih juara tari tingkat propinsi yang saya lihat di majalah, itu sangat tidak mungkin dapat kami penuhi. Untuk event 17 Agustus, mushola adalah tempat kami berunding mengenai siapa yang membeli kertas krep yang jika dibasahi bisa digunakan sebagai gincu bibir sekaligus acara mengincar anak-anak mana yang memiliki rok, baju, atau celana panjang dengan model sama sehingga bisa dipinjam untuk digunakan sebagai kostum menari kelompok.
Menjahit dan mempersiapkan kostum menari dengan membeli bahan-bahan sendiri agar puas dengan penampilan yang dihasilkan? Bisa jadi maka kami para anak kampung tidak akan bisa menari seumur hidup jika demikian. Salon tempat kami bisa menyewa pakaian pun belum ada. Anak-anak sekolah negeri tidak jauh berbeda. Mereka selalu menampilkan tari yang sama dengan penari yang sama dan pakaian merupakan inventaris sekolah.
Sungguh jauh berbeda dengan keadaan saat ini. Untuk kostum dan make up sudah tidak kalah dengan peserta festival budaya. Musik apalagi. Itu bisa dipilih lagu mana yang diinginkan bahkan ada yang lalu dijadikan gerakan pemanasan, inti, dan pendinginan semacam senam. Ada pula yang menggunakan tari sebagai penyampai cerita dengan memotong musik dari lagu-lagu yang diinginkan Itulah kreatifitas.
Melihat antusiasme saya bisa jadi kemudian ada guru Sekolah Dasar saya yang mengajak saya bicara bagaimana seandainya beliau mengundang keponakannya yang telah meraih juara tari tradisional tingkat propinsi untuk mengajari kami menari di sekolah. Saya sangat setuju namun lagi-lagi karena minat bukanlah di seni tradisional yang telah terpola rapi, saat masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar itu saya justru mengajarkan tari kreasi saya sendiri untuk kakak di Sekolah Menengah Pertama untuk tampil pada malam 17 Agustus dan sampai saya lulus tidak pernah satu kali pun tampil untuk tari-tari tradisional yang telah diajarkan. Hal yang tidak pernah saya sesali.
Menampilkan sosok penari Jawa bagi saya sangat sulit karena ukuran cantik telah terukur seperti pinggang harus nawon kemit ataupun berjalan harus seperti macan luwe atau harimau lapar. Pipi saya yang chubby dan postur yang lebih besar dibandingkan anak-anak lain sangat tidak terhindarkan jika memang harus jauh dari seni tradisional Jawa. Itu baru dari segi fisik. Dari segi pola pikir, dosen-dosen di asrama kampus pernah mengatakan budaya saya tidak seperti budaya Indonesia. Bagi saya itu hanya masalah style apalagi budaya telah mengglobal seperti saat ini. Hal baik meski itu dari budaya asing tidak apa-apa kita aplikasikan dalam hidup kita. Budaya lokalpun jika itu menghambat kinerja menurut saya tidak apa-apa kita tinggalkan.

***
Sesuatu yang telah dijalani tidak mungkin jika tanpa meninggalkan bekas. Begitupun dengan latihan tari tersebut. Dari situ saya mengenal dasar-dasar menari Jawa dan lebih penting dari itu semua adalah bahwa menari tidak hanya menggerakkan badan mengikuti musik pengiring namun harus ada jiwa didalamnya. Masih saya ingat ketika tangan pelatih tari mengangkat dagu saya untuk lebih keatas ketika sedang berlatih tari seorang patriot wanita. Hidup harus dijalani dengan kepala tegak dan gagah berani, bukan dengan kepala tertunduk, jiwa yang kerdil, atau sikap bermalasan.
***

Tidak melalui jalan yang biasa orang lewati, itu yang saya lihat pada diri saya saat itu. Bukan jalan sepi memang dan itu juga sering dilewati oleh orang-orang lain namun itu hanya sesekali dilewati oleh para pelajar. Berbeda dengan saya. Ketika Sekolah Dasar saya sering melewati jalan yang berujung di depan rumah kepala sekolah dan itu hanya tinggal sedikit melewati jalan umum maka sampailah di sekolah. Di Sekolah Menengah Pertama, saya melewati dua studio foto. Sementara saat di sekolah lanjutan atas, saya melewati gang yang melewati rumah teman di sekolah lanjutan pertama yang melanjutkan belajar di salah satu sekolah favorit kabupaten dan pernah menanyakan kepada saya mengapa tidak mengikuti lomba pelajar berprestasi padahal teman yang diutus mewakili sekolahnya ingin bisa bertemu dengan saya.
Meski belajar di sekolah bukan favorit dan itu bukanlah karena nilai sekolah saya yang memang dibawah standar karena nilai-nilai sekolah saya selalu bagus, saya bersyukur memiliki teman bermain yang bersekolah di sekolah yang justru menjadi induk sekolah saya. Ia berada satu kelas di atas saya sehingga saya bisa meminjam buku-buku sekolahnya. Sebagai ganti, saya yang sering mengikuti pelajaran Bahasa Inggris di Radio BBC akan mengerjakan pekerjaan rumah pelajaran Bahasa Inggrisnya dan membantunya menerjemahkan materi membaca.
Mengenai pelajaran Bahasa Inggris, di Sekolah Menengah Pertama saya mendapatkan guru idealis yang itu berhasil memicu saya untuk lebih bersemangat dalam belajar. Saya selalu mendapat nilai sempurna namun sayang teman-teman di kelas menjadi terlalu terseret-seret mengikuti materi pelajaran sehingga guru tersebut mendapat label kurang bisa mengerti anak dan pada tahun berikutnya beliau sudah tidak mengajar di sekolah kami. Datanglah kemudian guru baru yang juga mengajar di sekolah negeri di desaku. Dari beliau saya bisa melihat kemampuan bahasa anak-anak yang yang bersekolah di sekolah favorit. Beliau terkesan dengan hasil belajar saya dan saya semakin yakin bahwa dengan belajar di sekolah swasta, itu tidak menjadikan kualitas hasil pendidikan lebih rendah dari anak yang belajar di sekolah favorit. Hanya satu kemampuan yang bisa jadi anak-anak di sekolah swasta terutama sekolah berbasis agama kalah dari anak di sekolah negeri yaitu kemampuan baca tulis huruf Jawa dan segala yang berbau kental dengan tradisi. Saya mengakuinya ketika saya tidak bisa membaca kata-kata motivasi yang ditulis di cermin kamar teman kuliah saat di asrama. Ketika saya menunjukkan bahwa saya suka lagu bernuansa Jawa dan saya tunjukkan kasetnya, mereka mengatakan bahwa itu adalah lagu Jawa yang diminati oleh para bule yang belajar budaya Jawa. Bukan orang Jawa asli. Saat itu saya menyerah.
Guru hebat berikutnya adalah seorang guru Biologi. Bisa jadi Bapak Mario Teguh menjelaskan bahwa guru harus selalu berpenampilan siap mendidik para murid dengan perlengkapan lengkap seperti tas dan buku-buku ketika di kelas. Namun itu tidak ada pada diri guru Biologi tersebut. Beliau telah mempersiapkan materi apa yang akan diajarkan dan yang beliau bawa adalah alat-alat untuk memperjelas materi pelajaran. Saya sangat terkesan ketika beliau mengajari kami praktek untuk mengecek golongan darah kami dan di saat lain membawakan binatang yang telah digunakan untuk praktek anak Sekolah Menengah Atas untuk juga bisa kami pelajari organ-organnya.
Para guru kiriman Tuhan itu dan segala kesempatan yang saya terima benar-benar sangat saya syukuri hingga saat ini. Semoga Allah juga membalas setiap kebaikan para beliau dengan kebaikan yang lebih tinggi dan kemuliaan.
Jika tolok ukur keberuntungan adalah uang, maka tidak seberapa yang saya hasilkan. Kami para anak desa dulu untuk mendapatkan uang adalah dengan merelakan jari-jari tangan kami bekerja mengupas buah melinjo dengan imbalan satu gantang adalah Rp 200,- dan jika kami bisa menyelesaikan tiga gantang maka kami akan mendapat uang sebesar Rp 600,-. Mungkin perasaan kami saat itu sama dengan ketika anak-anak sekarang mendapatkan uang sejumlah Rp 60.000,- Namun dari pengalaman anak-anak desa seperti saya, segala upaya pasti akan ada hasil. You plant, you harvest. Siapa menanam pasti mengetam.

No comments:

Post a Comment