Siapa menanam, mengetam. Ada sedikit cerita dari saya tentang kata-kata ini dan saya tulis dalam Bab Guru-Guru Kiriman Tuhan dalam buku Biarkan Lautan Bernyanyi (Let the ocean sing).
Keluargaku dapat dikatakan
sebagai keluarga yang sederhana. Ayahku, Martabi Yaseen telah
meninggal dunia. Beliau seorang penjual buku dan sekaligus pecinta
buku. Ibuku Sri Mas adalah seorang guru taman kanak-kanak. Disebabkan
karena nama depan ibuku Sri, bisa jadi kemudian ayahku memberi nama
aku dan kakak perempuanku dengan nama depan Sri. Kakakku adalah Sri
Sarah Martabi sedangkan namaku adalah Sri Annemarie Martabi.
Keberadaan ibuku yang seorang
guru taman kanak-kanak sering aku sebut sebagai keberuntunganku yang
pertama dalam soal pendidikan. Pada saat saya masih kecil dimana
program pemerintah untuk penambahan gizi anak dinilai sangat penting
disebabkan karena stok berlebih maka ibuku membawa pulang untuk kami.
Program peningkatan kualitas guru yang diikuti oleh ibuku turut
menjadikan kami untuk dapat berlatih mandiri. Pernah bahkan dulu saya
tidur dengan besi dari potongan jendela nako ada di dekat tempat
tidur ketika ibu mengikuti pelatihan selama satu minggu.
Keberuntungan kedua adalah saat
tahun kedua kuliah di Yogyakarta dan ada program asrama. Maka hanya
satu tahun awal saya tinggal di kost. Mulai tahun kedua berada satu
asrama dengan para kakak angkatan dari jurusan sama maupun berbeda
semakin memperkaya keilmuan saya. Ditambah lagi kami di asrama juga
mengikuti perkuliahan yang disampaikan oleh para dosen yang
kebanyakan berpendidikan doktoral maka semakin tumpah ruahlah ilmu
yang kami terima.
Masa belajar yang tidak kalah
saya nikmati adalah masa pendidikan dasar dan menengah. Saya suka
menari meski itu kadang bertabrakan dengan aturan gerak hip-hop untuk
dangdut, gerakan dangdut untuk musik pop ataupun pop namun gemulai
meski musik yang ada memiliki tempo yang cepat. Masalah kostum harus
memiliki keberanian tersendiri setidaknya hanya itu pilihan kami
karena jika mengacu pada kostum sekolah-sekolah peraih juara tari
tingkat propinsi yang saya lihat di majalah, itu sangat tidak mungkin
dapat kami penuhi. Untuk event 17 Agustus, mushola adalah tempat kami
berunding mengenai siapa yang membeli kertas krep yang jika dibasahi
bisa digunakan sebagai gincu bibir sekaligus acara mengincar
anak-anak mana yang memiliki rok, baju, atau celana panjang dengan
model sama sehingga bisa dipinjam untuk digunakan sebagai kostum
menari kelompok.
Menjahit dan mempersiapkan
kostum menari dengan membeli bahan-bahan sendiri agar puas dengan
penampilan yang dihasilkan? Bisa jadi maka kami para anak kampung
tidak akan bisa menari seumur hidup jika demikian. Salon tempat kami
bisa menyewa pakaian pun belum ada. Anak-anak sekolah negeri tidak
jauh berbeda. Mereka selalu menampilkan tari yang sama dengan penari
yang sama dan pakaian merupakan inventaris sekolah.
Sungguh jauh berbeda dengan
keadaan saat ini. Untuk kostum dan make up sudah tidak kalah dengan
peserta festival budaya. Musik apalagi. Itu bisa dipilih lagu mana
yang diinginkan bahkan ada yang lalu dijadikan gerakan pemanasan,
inti, dan pendinginan semacam senam. Ada pula yang menggunakan tari
sebagai penyampai cerita dengan memotong musik dari lagu-lagu yang
diinginkan Itulah kreatifitas.
Melihat antusiasme saya bisa
jadi kemudian ada guru Sekolah Dasar saya yang mengajak saya bicara
bagaimana seandainya beliau mengundang keponakannya yang telah meraih
juara tari tradisional tingkat propinsi untuk mengajari kami menari
di sekolah. Saya sangat setuju namun lagi-lagi karena minat bukanlah
di seni tradisional yang telah terpola rapi, saat masih duduk di
kelas 6 Sekolah Dasar itu saya justru mengajarkan tari kreasi saya
sendiri untuk kakak di Sekolah Menengah Pertama untuk tampil pada
malam 17 Agustus dan sampai saya lulus tidak pernah satu kali pun
tampil untuk tari-tari tradisional yang telah diajarkan. Hal yang
tidak pernah saya sesali.
Menampilkan sosok penari Jawa
bagi saya sangat sulit karena ukuran cantik telah terukur seperti
pinggang harus nawon kemit ataupun berjalan harus seperti
macan luwe atau harimau lapar. Pipi saya yang chubby
dan postur yang lebih besar dibandingkan anak-anak lain sangat tidak
terhindarkan jika memang harus jauh dari seni tradisional Jawa. Itu
baru dari segi fisik. Dari segi pola pikir, dosen-dosen di asrama
kampus pernah mengatakan budaya saya tidak seperti budaya Indonesia.
Bagi saya itu hanya masalah style apalagi budaya telah mengglobal
seperti saat ini. Hal baik meski itu dari budaya asing tidak apa-apa
kita aplikasikan dalam hidup kita. Budaya lokalpun jika itu
menghambat kinerja menurut saya tidak apa-apa kita tinggalkan.
***
Sesuatu yang telah dijalani
tidak mungkin jika tanpa meninggalkan bekas. Begitupun dengan latihan
tari tersebut. Dari situ saya mengenal dasar-dasar menari Jawa dan
lebih penting dari itu semua adalah bahwa menari tidak hanya
menggerakkan badan mengikuti musik pengiring namun harus ada jiwa
didalamnya. Masih saya ingat ketika tangan pelatih tari mengangkat
dagu saya untuk lebih keatas ketika sedang berlatih tari seorang
patriot wanita. Hidup harus dijalani dengan kepala tegak dan gagah
berani, bukan dengan kepala tertunduk, jiwa yang kerdil, atau sikap
bermalasan.
***
Tidak melalui jalan yang biasa
orang lewati, itu yang saya lihat pada diri saya saat itu. Bukan
jalan sepi memang dan itu juga sering dilewati oleh orang-orang lain
namun itu hanya sesekali dilewati oleh para pelajar. Berbeda dengan
saya. Ketika Sekolah Dasar saya sering melewati jalan yang berujung
di depan rumah kepala sekolah dan itu hanya tinggal sedikit melewati
jalan umum maka sampailah di sekolah. Di Sekolah Menengah Pertama,
saya melewati dua studio foto. Sementara saat di sekolah lanjutan
atas, saya melewati gang yang melewati rumah teman di sekolah
lanjutan pertama yang melanjutkan belajar di salah satu sekolah
favorit kabupaten dan pernah menanyakan kepada saya mengapa tidak
mengikuti lomba pelajar berprestasi padahal teman yang diutus
mewakili sekolahnya ingin bisa bertemu dengan saya.
Meski belajar di sekolah bukan
favorit dan itu bukanlah karena nilai sekolah saya yang memang
dibawah standar karena nilai-nilai sekolah saya selalu bagus, saya
bersyukur memiliki teman bermain yang bersekolah di sekolah yang
justru menjadi induk sekolah saya. Ia berada satu kelas di atas saya
sehingga saya bisa meminjam buku-buku sekolahnya. Sebagai ganti, saya
yang sering mengikuti pelajaran Bahasa Inggris di Radio BBC akan
mengerjakan pekerjaan rumah pelajaran Bahasa Inggrisnya dan
membantunya menerjemahkan materi membaca.
Mengenai pelajaran Bahasa
Inggris, di Sekolah Menengah Pertama saya mendapatkan guru idealis
yang itu berhasil memicu saya untuk lebih bersemangat dalam belajar.
Saya selalu mendapat nilai sempurna namun sayang teman-teman di kelas
menjadi terlalu terseret-seret mengikuti materi pelajaran sehingga
guru tersebut mendapat label kurang bisa mengerti anak dan pada tahun
berikutnya beliau sudah tidak mengajar di sekolah kami. Datanglah
kemudian guru baru yang juga mengajar di sekolah negeri di desaku.
Dari beliau saya bisa melihat kemampuan bahasa anak-anak yang yang
bersekolah di sekolah favorit. Beliau terkesan dengan hasil belajar
saya dan saya semakin yakin bahwa dengan belajar di sekolah swasta,
itu tidak menjadikan kualitas hasil pendidikan lebih rendah dari anak
yang belajar di sekolah favorit. Hanya satu kemampuan yang bisa jadi
anak-anak di sekolah swasta terutama sekolah berbasis agama kalah
dari anak di sekolah negeri yaitu kemampuan baca tulis huruf Jawa dan
segala yang berbau kental dengan tradisi. Saya mengakuinya ketika
saya tidak bisa membaca kata-kata motivasi yang ditulis di cermin
kamar teman kuliah saat di asrama. Ketika saya menunjukkan bahwa saya
suka lagu bernuansa Jawa dan saya tunjukkan kasetnya, mereka
mengatakan bahwa itu adalah lagu Jawa yang diminati oleh para bule
yang belajar budaya Jawa. Bukan orang Jawa asli. Saat itu saya
menyerah.
Guru hebat berikutnya adalah
seorang guru Biologi. Bisa jadi Bapak Mario Teguh menjelaskan bahwa
guru harus selalu berpenampilan siap mendidik para murid dengan
perlengkapan lengkap seperti tas dan buku-buku ketika di kelas. Namun
itu tidak ada pada diri guru Biologi tersebut. Beliau telah
mempersiapkan materi apa yang akan diajarkan dan yang beliau bawa
adalah alat-alat untuk memperjelas materi pelajaran. Saya sangat
terkesan ketika beliau mengajari kami praktek untuk mengecek golongan
darah kami dan di saat lain membawakan binatang yang telah digunakan
untuk praktek anak Sekolah Menengah Atas untuk juga bisa kami
pelajari organ-organnya.
Para guru kiriman Tuhan itu dan
segala kesempatan yang saya terima benar-benar sangat saya syukuri
hingga saat ini. Semoga Allah juga membalas setiap kebaikan para
beliau dengan kebaikan yang lebih tinggi dan kemuliaan.
Jika
tolok ukur keberuntungan adalah uang, maka tidak seberapa yang saya
hasilkan. Kami para anak desa dulu untuk mendapatkan uang adalah
dengan merelakan jari-jari tangan kami bekerja mengupas buah melinjo
dengan imbalan satu gantang adalah Rp 200,- dan jika kami bisa
menyelesaikan tiga gantang maka kami akan mendapat uang sebesar Rp
600,-. Mungkin perasaan kami saat itu sama dengan ketika anak-anak
sekarang mendapatkan uang sejumlah Rp 60.000,- Namun dari pengalaman
anak-anak desa seperti saya, segala upaya pasti akan ada hasil. You
plant, you harvest.
Siapa menanam pasti mengetam.
No comments:
Post a Comment