Sunday, 12 April 2015

With patience and time mulberry leaves become satin



Satin mulai dikenal di daratan Eropa pada awal abad ke-20, setelah lebih dahulu mengenal kain sutera yang berasal dari Tiongkok. Walaupun satin dan sutera memiliki beberapa ciri khas yang mirip, keduanya menggunakan bahan serat yang berbeda. Satin ditenun dengan serat buatan seperti polyster, sedangkan sutera menggunakan serat alami yaitu ulat sutera. Satin memiliki permukaan yang licin dan mengkilap sedangkan sutera ringan dan lembut.


Pepatah 'With patience and time mulberry leaves become satin' banyak dikenal baik di China sendiri, British, German, Kurdish, Spanish, maupun Romanian dengan versi sama atau dengan versi lain seperti '...become silk gown', atau '...becomes silk robe'. Berakar dari budaya di Indonesia akan saya paparkan cerita yang menggambarkan keteguhan dan kesabaran seorang gadis Minangkabau berjudul Puteri Berbudi Luhur. Dengarkan baik-baik, ya..

Sebutlah Upik Laila Hanum, nama gadis itu. Ia tinggal di sebuah desa yang terletak di pinggir Sungai Batang Hari, Padang Sumatera Barat. Gadis yang baik dalam sikap maupun tutur kata. Ia hanya tinggal berdua dengan Ibunya setelah beberapa tahun sebelumnya ayah yang sangat ia cinta meninggal dunia karena sakit.
Pada hari itu, entah sudah beberapa kali lewat di depan rumah Upik seorang nenek renta berjalan sambil menggendong bakul di punggungnya. Tidak ada satu orangpun di desa yang mengenal nenek itu dan karena oleh pemuka desa warga diminta untuk selalu berhati-hati terutama pada orang asing yang datang ke desa mereka, maka memang tidak ada warga yang berani berbicara pada nenek itu. Namun melihat bibir nenek itu yang telah kering dan berjalan terhuyung-huyung, rasa iba mulai menghinggapi hati Upik. Atas persetujuan ibunya, Upik memberi minum nenek yang bernama Nenek Rapiah tersebut. Sebagai tanda terima kasih, nenek itu memberi Upik beberapa ekor ulat sutera dari dalam bakul yang ia bawa. Ternyata ulat sutera dan kain sutera yang berada didalam bakul Nenek Rapiah.
“Peliharalah ulat sutera ini, maka kau akan mendapatkan kain sutera yang indah. Kain itu bisa kau jahit menjadi baju atau rok panjang.” Kata Nenek Rapiah.
“Maaf, Nenek Rapiah. Tapi saya tidak tahu bagaimana cara merawatnya dan mendapatkan kain sutera itu. Saya ikhlas memberi minum kepada Nenek Rapiah. Tidak perlu ada imbalan apapun. Ulat sutera itu lebih baik nenek yang merawat dan memeliharanya daripada di tangan saya malah tidak ada gunanya. Justru kasihan ulat-ulat itu.” Tolak Upik dengan halus.
“Kalau begitu minta izinlah kepada ibumu agar nenek bisa tinggal sebentar di sini untuk mengajarimu memelihara ulat sutera ini dan bagaimana menghasilkan kain sutera.”

Akhirnya Ibu Upik mengizinkan Nenek Rapiah tinggal di rumahnya. Sampai akhirnya kemudian Upik benar-benar tidak bisa menghalangi ketika Nenek Rapiah berpamitan untuk pergi. Selama tinggal di rumah Upik, Nenek Rapiah telah membantu Upik memiliki satu baju kurung dan rok panjang dari kain sutera yang cantik. Sebelum pergi, Nenek Rapiah juga sempat memberikan satu selendang paling bagus yang ia miliki dari bakulnya kepada Upik Laila Hanum.

*****
Hari yang cerah, angin bertiup lembut menerpa wajah Upik Laila Hanum nan jelita dan membiarkan rambut panjangnya menari tergerai. Upik berpamitan kepada ibunya karena ia ingin berjalan-jalan ke atas bukit yang ada di desanya. Hari itu Upik memakai rok panjang dan baju kurung yang terbuat dari kain sutera. Tak lupa selendang pemberian Nenek Rapiah ia pakai di lehernya. Kupu-kupu mengikuti kemanapun arah kaki Upik melangkah. Bibir Upik terus mengeluarkan nyanyian dan senyuman yang indah. Hatinya benar-benar riang saat itu. Namun itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba menghilanglah semua kupu-kupu dan datanglah angin kencang. Selendang Upik Laila Hanum terbawa angin kencang jauh sekali yaitu sampai di tanah Jambi dan tersangkut di kereta yang sedang dinaiki oleh Pangeran Kerajaan Jambi. Pangeran menyuruh pengawalnya untuk melepas selendang itu dan memberikan kepadanya.
“Bagus dan halus sekali selendang ini. Pengawal, besok kau umumkan ke seluruh pelosok negeri bahkan kalau perlu ke negeri tetangga bahwa jika pemilik selendang ini adalah perempuan maka ia akan aku jadikan isteri. Jika laki-laki maka ia akan aku anggap sebagai saudara dan aku minta untuk tinggal di istana kerajaan.” Sabda Pangeran Kerajaan Jambi.

*****

“Upik, apakah kau berniat ke Kerajaan Jambi agar kau dinikahi oleh Pangeran Jambi? Tidak baik berangan-angan terlalu tinggi. Kau hanya anak desa dari pinggir Sungai Batang Hari. Kau tidak pantas mendampingi seorang pangeran yang akan memimpin kerajaan besar. Ikhlaskan selendang itu.” Kata Ibu Upik. Pengumuman dari Kerajaan Jambi memang telah sampai di desa tempat Upik tinggal.
“Ibu, Upik tahu dari mana Upik berasal. Upik kesana hanya untuk mengambil hak Upik. Upik akan mengambil selendang itu dan pulang lagi ke desa ini. Tidaklah pantas Upik mendampingi seorang pangeran kerajaan. Upik sangat tahu hal itu. Ibu tidak perlu khawatir.”
“Lalu dari mana uang yang akan kau gunakan kesana? Tidaklah banyak uang ibu saat ini. Tabunganmu juga tidaklah cukup. Kerajaan Jambi jauh. Kau hampir bisa dikatakan akan menyusuri seluruh bagian tengah Pulau Sumatera ini.”
“Upik akan membawa seluruh tabungan Upik. Upik akan menyusuri Sungai Batang Hari dan akan bekerja di Rumah Makan Padang di tempat yang Upik lewati. Sekedarnya hanya agar Upik sampai di Kerajaan Jambi.”
“Jika tekadmu telah bulat. Pergilah. Do’a Ibu selalu mengiringimu.”

*****
Esok paginya dengan iringan do’a dan tetes air mata ibunya, Upik mulai menyusuri pinggir Sungai Batang Hari. Setiap memasuki daerah baru maka Upik menawarkan tenaganya untuk membantu di Rumah Makan Padang yang ada disitu. Kepada pemilik rumah makan Upik mengatakan bahwa sebagai gadis desa ia ingin melihat bagaimana rupa tempat-tempat lain dan ia juga ingin bisa berjalan-jalan ke Jambi. Kerajaan yang terkenal sampai di desanya.

Berhari-hari Upik menyusuri Sungai Batang Hari dan uang dari tabungannya masih utuh bahkan telah bertambah. Sampailah ia kemudian di sebuah desa yang ia sangat heran karena tidak satupun Rumah Makan Padang ia jumpai. Upik membeli makan di salah satu warung makan namun terkejutlah Upik ketika melihat pemilik warung makan melemparkan seekor kucing ke jalan di depan warung.
“Kucing pencuri! Mati kau dilindas kendaraan yang lewat disitu!” Hardik pemilik warung makan. Upik langsung melompat dari tempat duduknya dan menuju ke arah kucing itu.
“Paman, biarlah kucing ini menjadi milik saya.”
“Kau bawa saja kucing itu dan jangan pernah bawa lagi ke daerah ini.”
“Terima kasih, Paman.”

Kucing itu langsung akrab dengan Upik Laila Hanum. Saat berjalan bersama Upik tak jarang ia berlari mendahului Upik kemudian bersembunyi dan terkadang ia seperti termenung melamun meski Upik telah jauh berjalan namun kemudian ia berlari kencang menyusul Upik. Kucing itu oleh Upik diberi nama Si Manis.
Matahari telah bergeser ke arah barat. Upik menginginkan untuk sampai di Jambi besok siang sehingga ia harus bergegas berjalan menuju desa sebelah dan menginap di salah satu penginapan disana atau jika ia beruntung menemukan sebuah Rumah Makan Padang maka ia akan menginap disana. Nanti malam dan besok sehari ia akan membantu di Rumah Makan Padang itu. Pikiran Upik terfokus pada rencana yang akan ia lakukan, ia hampir terserempet seekor kuda yang dinaiki oleh seseorang. Lolos dari peristiwa itu, Upik justru melihat jauh didepannya seorang nenek yang menggendong banyak kayu bakar terserempet oleh kuda itu. Upik berlari menuju nenek yang jatuh tertindih oleh kayu bakar yang ia bawa. Nenek itu mengaduh dengan suara pelan.
“Mari saya bantu nenek untuk berdiri,” kata Upik Laila Hanum setelah mengangkat kayu yang menindih nenek itu.
“Saya bawakan kayu ini sampai di rumah nenek.” Upik melepas selendang yang melingkar di badan nenek itu dan mengangkat kayu bakar ke punggungnya menggunakan selendang itu. Nenek itu masih belum berbicara apapun hanya mengaduh pelan.
“Terima kasih. Rumah nenek tidak jauh dari sini.” Akhirnya nenek itu bisa berbicara setelah keterkejutannya hilang.
Upik berjalan sambil menggendong kayu bakar menuju sebuah rumah kecil. Si Manis mengikutinya sambil menyenggolkan kepalanya ke kaki Upik. Sampai di rumah nenek itu Upik lalu mengurut kaki nenek yang terkilir dengan menggunakan minyak kelapa yang ada disitu.
“Ini gubuk nenek. Nenek tinggal seorang diri. Kau berasal dari mana? Sepertinya tidak ada gadis sepertimu di desa ini.”Tanya nenek itu sambil mempersilakan Upik minum.
“Saya ingin ke Jambi, Nek. Ingin melihat dan berjalan-jalan di Kerajaan Jambi.”

“Apakah hanya itu tujuanmu kesana? Tidak mungkin gadis berperasaan halus sepertimu ke Kerajaan Jambi seorang diri hanya untuk berjalan-jalan. Ceritakanlah, siapa tahu nenek bisa membantumu.” Mulailah Upik menceritakan apa yang ia alami mulai saat bertemu Nenek Rapiah lalu  peristiwa di atas bukit sampai kemudian terdengar pengumuman bahwa selendang miliknya berada ditangan Pangeran Kerajaan Jambi.
“Malam ini menginaplah disini. Besok baru kau berangkat ke Kerajaan Jambi. Nenek pernah bekerja disana, di rumah Datuk Bendahara. Selama berada di Kerajaan Jambi, kamu menginaplah disana. Ia adalah orang kepercayaan Ratu Kerajaan Jambi. Orangnya sangat baik dan di rumah hanya saat malam hari. Namun kau tidak perlu khawatir karena ia memiliki dua anak perempuan seusiamu yang bisa menemanimu. Dua anak perempuannya adalah Ayu Lesung Pipit yang berusia lebih tua dan Ayu Lembut Hati yang berusia lebih muda. Ayu Lembut Hati akan selalu bersikap baik pada siapapun termasuk pada orang baru sepertimu namun tidak demikian jika Ayu Lesung Pipit. Meski wajahnya sangat rupawan namun ia bisa bersikap licik. Kau juga harus berhati-hati.”
“Setiap manusia pada dasarnya adalah orang baik, Nek.”
“Amiin.”
*****
Matahari masih di posisi tengah ketika Upik sampai didepan rumah Datuk Bendahara. Tidak terlalu sulit menemukan rumah itu karena banyak orang yang tahu siapa Datuk Bendahara. Upik melihat seorang perempuan cantik sedang menyapu teras rumah. Upik mengucapkan salam kepadanya dan dijawab dengan santun dan sambil tersenyum. Tidak ada lesung pipit di pipinya jadi ia pastilah Ayu Lembut Hati.
“Saya ingin bertemu dengan Datuk Bendahara,” kata Upik Laila Hanum.
“Ya, tapi ayah saya sedang bekerja di kerajaan. Tunggulah dulu dan istirahatlah dulu disini. Nanti saat petang baru beliau kembali ke rumah. Masuklah..” Kata Ayu Lembut Hati. Upik dan Si Manis mengikuti di belakangnya.
Didalam rumah tengah duduk Ayu Lesung Pipit, ia hanya melirik sekedarnya pada Upik Laila Hanum.
“Siapa dia?” Tanyanya pada Ayu Lembut Hati.
“Tamu ayah. ” Jawab Ayu Lembut Hati.
“Dari mana dan ada perlu apa?”
“Saya berasal dari Padang Sumatera Barat. Saya ada keperluan ke Kerajaan Jambi ini. Oleh nenek yang saya kenal saat perjalanan, saya diminta untuk kesini dulu menemui Datuk Bendahara.” Jawab Upik dengan cepat.
“Beri dia kamar dulu biar beristirahat, Kak. Upik pasti sangat lelah.”
“Tenang saja. Akan aku antar ia ke tempat yang layak untuknya.”
“Ikuti Kakakku ya, Upik..” Upik Laila Hanum mengangguk sambil mengucapkan terima kasih kepada Ayu Lembut Hati.
Upik mengikuti langkah Ayu Lesung Pipit namun ternyata bukan ke sebuah kamar seperti yang diminta oleh Ayu Lembut Hati. Upik dibawa oleh Ayu Lesung Pipit ke gudang rumahnya.
“Beristirahatlah disini. Saya pikir gudang rumah kami masih jauh lebih bagus daripada rumahmu di Padang sana. Sebentar akan saya ambilkan selimut dan bantal untuk kamu dan kucingmu itu.”
Tak berapa lama datanglah Ayu Lesung Pipit membawa selimut dan bantal untuk Upik. Upik sempat mendengar ayu Lesung Pipit berteriak memarahi Ayu Lembut Hati.
“Walaupun kau tinggal digudang ini, kau harus tetap berterima kasih kepadaku, Upik.” Kata Ayu Lesung Pipit.
“Ya. Terima kasih, Ayu Lesung Pipit.”
Setelah Ayu Lesung Pipit meninggalkan ruangan gudang, Upik segera merapikan kain yang akan ia gunakan sebagai alas tidur. Upik kemudian duduk beristirahat dan diletakkannya Si Manis di pangkuannya. Dibelainya punggung Si Manis dengan lembut.
“Alhamdulillah, kita sudah sampai di Jambi. Kita hanya akan beberapa hari disini lalu kau akan ikut aku ke Padang.” Si Manis mengangguk-angguk sambil memejamkan matanya. Upik teringat ibunya di Padang sana, air matanya tanpa ia sadari menetes di pipinya.
“Ibu, Upik telah sampai di Jambi. Mohon do’a restu dari ibu. Besok pagi saya akan menemui Ratu dan Pangeran di istana. Setelah selendang itu Upik dapatkan, Upik akan segera kembali ke rumah.” Mata Upik menerawang membayangkan ibunya yang sedang mendo’akannya.
Ayu Lembut Hati datang membawakan makanan dan satu gelas air minum untuk Upik. Ia juga membawakan nasi yang telah diberi ikan asin untuk Si Manis. Upik yang baru saja menjalankan sholat mengucapkan terima kasih yang tidak terkira.
“Nanti setelah maghrib, ayah bisa ditemui.” Pesannya.
Namun waktu yang sedikit di rumah sebenarnya untuk digunakan beristirahat bagi Datuk Bendahara. Upik tidak mau terlalu banyak mengganggu waktu beristirahat Datuk Bendahara. Upik menunjukkan cincin yang diberi oleh nenek pembawa kayu bakar dan Datuk Bendahara percaya pada Upik Laila Hanum. Ia mengizinkan Upik berada beberapa hari di rumahnya. Datuk Bendahara mengatakan bahwa Ratu dan Pangeran bisa ditemui setelah pukul 9 pagi.

*****
Pada pagi hari setelah mandi, Upik sibuk mencari baju kurung dan rok panjang kain sutera yang akan ia pakai untuk menemui Ratu dan Pangeran. Si Manis masih tergolek tidur.

“Apakah ada yang mengambilnya?” Tanyanya dalam hati. Mata Upik lalu tertuju pada nasi bungkus dan segelas teh di dekat alas tempat tidur. Upik tidak merasa lapar. Akhirnya Upik berangkat ke istana bersama dengan Si Manis dengan perut kosong. Upik memakai pakaian ganti biasa, tidak seperti rencana semula bahwa ia akan memakai pakaian dari kain sutera sekaligus untuk dijadikan bukti bahwa memang ia pemilik selendang yang Pangeran temukan.
Pukul 9 pagi Ratu memasuki ruangan disusul dibelakangnya Pangeran Kerajaan Jambi. Selendang sutera milik Upik ia pakai sebagai destar di kepalanya. Elok nian. Namun ingin rasanya tangan Upik untuk mengambil selendang nan bertengger dengan gagah itu. Ratu yang memulai pembicaraan dan Upik menceritakan asal muasal selendang tersebut sampai terjadi angin kencang di atas bukit. Namun tiba-tiba masuklah Ayu Lesung Pipit kedalam ruangan.
“Siapa kau? Mengapa lancang masuk kedalam ruangan ini tanpa seizinku?” Ratu menatap tajam ke arah Ayu Lesung Pipit.
“Hamba Ayu Lesung Pipit, Puteri Datuk Bendahara. Hamba yakin Paduka Ratu sebenarnya mengetahui siapa saya. Saya terburu-buru masuk ke ruangan ini agar Ratu dan Pangeran tidak tertipu oleh gadis ini. Ia menumpang di rumah hamba dan mengaku sebagai pemilik selendang itu. Padahal sebenarnya saya adalah pemilik selendang tersebut. Mohon maaf meski pengumuman dari Pangeran sudah lama namun baru saat ini saya bisa datang ke istana ini. Telinga saya sakit sehingga tidak mendengar tentang pengumuman itu. Mohon maaf, Paduka Ratu. Mohon maaf, Pangeran.”
Ratu tampak berbisik pelan dengan Pangeran. Upik menundukkan kepalanya. Bagai ada jarum yang menusuk di perasaannya. Ia tahu bahwa Ayu Lesung Pipit memiliki tabiat yang kurang baik namun ia tidak menyangka Ayu Lesung Pipit bisa bertindak seperti itu.
“Besok pagi kalian berdua datang kesini lagi. Biar aku berunding dulu dengan Pangeran.” Kata Ratu.

“Saya puteri dari Datuk Bendahara. Orang yang Ratu percaya. Tidak mungkin saya berbohong karena itu hanya akan mencoreng nama ayah saya, Paduka Ratu.” Kata Ayu Lesung Pipit. Tak lupa ia mengerling pada Pangeran Jambi. Pangeran tampak sedang berpikir keras. Tidak ia gubris kerlingan mata Ayu Lesung Pipit.
*****
Hari dan malam seakan berjalan begitu lambat bagi Upik Laila Hanum. Pagi hari ia terbangun ketika ada suara tempayan tanah terjatuh dan pecah didekat ia tidur. Si Manis tampak berdiri dengan siaga dan mata garang. Pecahan tempayan dan air yang yang ada disitu masih mengeluarkan asap panas. Upik segera merengkuh tubuh Si Manis dan menangis tersedu. Si Manis telah menyelamatkannya. Si Manis menerjang dada Ayu Lesung Pipit yang akan menyiram kaki Upik Laila Hanum menggunakan air panas.Upik bersegera sholat dan mandi lalu berangkat ke istana. Panggilan Ayu Lembut Hati nyaris tidak ia hiraukan sampai kemudian Ayu Lembut Hati mengejarnya.
“Makanlah dulu, Upik. Jangan sampai kau jatuh pingsan di depan Ratu hanya karena perut kosong. Itu hanya akan menunjukkan bahwa kamu tidak siap mempertahankan pendapatmu bahwa kaulah pemilik selendang itu. Makanlah bersamaku. ” Tangan Ayu Lembut Hati membimbing tangan Upik Laila Hanum menuju meja makan keluarganya. Tidak lupa ia juga membuatkan Si Manis makanan dari nasi yang dicampur dengan ikan asin.
“Terima kasih, Ayu Lembut Hati.” Kata Upik perlahan.
“Perjuangkan apa yang menurutmu benar, Upik. Ambillah kembali selendang milikmu. Kau harus semangat!” Upik tersenyum pada Ayu Lembut Hati. “Ayu Lembut Hati, apakah kamu tahu apa yang telah dikatakan oleh Ayu Lesung Pipit di hadapan Paduka Ratu dan Pangeran?” Hati Upik berbisik.
Ayu Lesung Pipit tiba di istana hampir bersamaan dengan Upik Laila Hanum. Dandanan wajah maupun perhiasan yang ia pakai sungguh mengundang decak kagum kalangan istana yang melihatnya. Beberapa prajurit istana memberanikan diri menggoda. Namun Upik melihatnya berbeda. Kaki Ayu Lesung Pipit pasti melepuh terkena air panas yang akan ia gunakan untuk menyiram dirinya sehingga ia merasa perlu memakai stocking hitam dan memakai sepatu yang tertutup. Cara berjalannya juga tidak bisa menutupi semua itu. Ia berjalan agak pincang dan sambil menahan rasa sakit. Satu hal yang membuat jantung Upik berdesir adalah pakaian yang Ayu Lesung Pipit pakai. Ia memakai baju kurung dan rok panjang kain sutera yang dicuri dari tas Upik Laila Hanum. Ukurannya pas di tubuh Ayu Lesung Pipit.
Tak berapa lama kemudian masuklah Ratu dan Pangeran. Disusul oleh satu pengawal membawa obor dengan api menyala dan satu pengawal membawa baki berisi selendang sutera milik Upik. Obor dan baki berisi selendang diletakkan tepat di tengah ruangan. Setelah kedua pengawal pergi, barulah Ratu membuka pembicaraan.
“Kau Puteri Datuk Bendahara. Jika kau adalah pembuat dan pemilik selendang ini pasti kau tahu apa bahan kain selendang ini.”
“Kain sutera itu saya buat dari kepompong ulat sutera, Paduka Ratu.”
“Lalu kau gadis Padang, dari apa kau buat kain sutera?”
“Dari kokon ulat sutera, Paduka Ratu.”
“Masing-masing kalian berpendapat bahwa selendang ini adalah milik kalian.”
“Pakaian yang saya pakai ini adalah juga sebagai bukti bahwa saya pemilik sah selendang itu. Pakaian saya ini saya buat agak terburu sehingga kualitasnya dibawah kualitas tenunan selendang itu namun untuk corak hampir sama, Paduka Ratu.”
“Bagaimana, Pangeran?” Ratu menoleh pada Pangeran lalu Pangeran berkata,” Sangat sulit untuk menentukan siapa yang benar diantara kalian. Namun sungguh saya tidak menginginkan permusuhan maupun percekcokan. Untuk itu saya putuskan bahwa saya akan membakar selendang itu.”
“Bagaimana pendapatmu, Puteri Datuk Bendahara?”
“Itu keputusan tepat. Lebih baik selendang itu dibakar daripada jatuh ke tangan gadis ini, Paduka Ratu. Pangeran pun akan bisa menentukan siapa yang pantas mendampingi Pangeran…”
“Cukup. Lalu Kau Upik Laila Hanum? Bagimana menurutmu?”
“Mohon itu tidak dilakukan, Paduka Ratu. Sekian lama saya menempuh perjalanan dan meninggalkan ibu saya seorang diri hanya untuk mendapatkan selendang itu kembali. Saya telah menerima amanat dari nenek yang memberikan selendang itu kepada saya untuk saya jaga.” Ucap Upik Laila Hanum dengan bibir gemetar.
“Kami telah memutuskan untuk tetap membakar selendang itu.” Tangan Ratu sudah menggenggam obor yang siap digunakan untuk membakar selendang.
“Daripada hidup berputih mata lebih baik mati berputih tulang. Daripada hidup bercermin bangkai lebih baik mati berkalang tanah. Saya akan tetap mempertahankan selendang saya itu. Kembalikanlah selendang itu kepada saya dan menikahlah Pangeran dengan Ayu Lesung Pipit.” Tangan Upik terkepal erat, air mata mengucur deras, dan suara Upik yang gemetar menggema ke seluruh ruangan sampai kemudian Pangeran mengangkat tangan ke atas. Paduka Ratu menghentikan langkahnya untuk mendekati baki selendang. Paduka Ratu berjalan meletakkan kembali obor yang ia bawa lalu kembali duduk disamping Pangeran.
“Puteri Datuk Bendahara, Ayahmu adalah orang kepercayaanku. Mengapa kau tega sekali mencemarkan nama baiknya? Kau di penjara, Ayu Lesung Pipit.” Sekali tepukan tangan Ratu, kedua pengawal yang tadi membawa baki dan obor kembali memasuki ruangan untuk menangkap Ayu Lesung Pipit. Sungguh tidak tega Upik Laila Hanum menyaksikan itu. Bibir Ayu Lesung Pipit gemetar menghiba memohon ampunan pada Upik. Mata yang sekarang telah bercucuran air mata itu terus memandang ke arah Upik Laila Hanum yang hanya bisa menundukkan kepala. Ratu baru berbicara kembali setelah Ayu Lesung Pipit sudah tidak berada didalam ruangan.
“Upik Laila Hanum, pulanglah ke rumahmu di Padang. Jemputlah ibumu dan bawa ke istana ini. Pangeran dan pengawal-pengawal akan mengantarmu.”
“Saya telah berjanji akan kembali ke Padang dengan membawa selendang milik saya.”
“Bawalah selendang itu.”
*****

Pernikahan Upik Laila Hanum diadakan di Padang dengan sangat meriah dan di istana Kerajaan Jambi dengan jauh lebih meriah lagi. Mereka berdua bahagia selamanya karena bisa melewati setiap cobaan kehidupan dengan baik. Si Manis telah menjelma menjadi kucing kerajaan yang tidak hanya makan nasi dicampur ikan asin. Ibu Upik Laila Hanum berbahagia menimang cucu-cucu yang lahir dari pasangan Upik Laila Hanum dan Pangeran. Rakyat Kerajaan Jambi merasa bangga dan hidup bahagia dibawah kepemimpinan mereka. 

Anyway, bagaimana cerita itu. Bagus atau tidak? Ending cerita seperti cerita-cerita dari Disney ya, puteri yang cantik dan baik hati akhirnya bersanding dengan pangeran rupawan dan bijaksana. Hmm..

No comments:

Post a Comment